MENUJU SISTEM IRIGASI SUBAK YANG BERKELANJUTAN DI BALI

Sistem Irigasi subak adalah salah satu warisan budaya masyarakat Bali. Sebagai sebuah sistem yang berwatak sosio-kultural, subak telah berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat sekitarnya. Pusposutardjo (1996) menyebutkan bahwa segala perubahan yang mungkin terjadi dalam subak pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi sebuah sistem irigasi, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Subak mulai dicatat keberadaanya pada abad XI, yakni pada tahun 1072, atau 393 tahun setelah sistem pertanian mulai ditemukan di Bali. Sepanjang kurun waktu tersebut, subak terus mengalami proses transformasi.

Pada awal pembentukan, subak hanya berperan untuk mengelola sistem irigasinya agar mampu memberikan pelayanan yang adil bagi anggotanya. Namun sesuai perkembangan sosio-kultural yang terjadi pada masyarakat sekitarnya, maka subak (i) melakukan kegiatan pembangunan pura di kawasannya (Pura Bedugul); (ii) melakukan kegiatan upacara; (iii) mengangkat pemangku untuk pura yang ada di subak yang bersangkutan; (iv) mengambil peran dalam proses pembangunan pertanian; (v) melakukan berbagai perubahan dalam struktur organisasinya; (vi) melakukan penyusuaian pada kewenangan pengelolaan pada palemahan (fisik) subak; (vii) melakukan perubahan dalam proses interaksinya dengan stakeholders.

Proses tranformasi yang terjadi pada subak pada dasarnya adalah karena pengaruh yang kuat dari para pemimpin pemerintahan. Pada zaman kerajaan, sistem subak mengalami transformasi karena pengaruh para raja, dan sekarang pada sistem pemerintahan nasional, maka kebijakan para pemimpin pemerintahan nasional mampu mempengaruhi subak. Para raja tampaknya berpengaruh pada pelaksanaan aktivitas ritual subak (agar aktifitas subak sepadan dengan aktifitas di kalangan masyarakat desa). Selanjutnya, kebijakan pemerintah nasional tampaknya berpengaruh pada sistem pengelolaan subak. Kebijakan pemerintah yang paling baru, yang akan berpengaruh pada subak  adalah dengan kelahiran UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.

Terkait dengan peran raja di Bali untuk mendorong subak melakukan kegiatan upacara,subak di Bali berkembang sebagai suatu sistem irigasi, yang memiliki kelebihan yang penting dibandingkan dengan fungsi sistem irigasi secara umum. Coward (1980) menyebutkan bahwa fungsi suatu sistem irigasi adalah (i) mengatur alokasi dan distribusi air irigasi; (ii) melakukan pengarahan sumberdaya petani; (iii) melakukan pemeliharaan saluran irigasi ; dan (iv) mencari solusi kalau ada konflik yang terjadi. Namun subak memiliki satu fungsi yang lain yakni fungsi melakukan kegiatan upacara (aktivitas ritual). Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dengan mengacu pada konsep Coward, maka subak pada dasarnya adalah sebuah sistem irigasi, Bahkan beberapa kalangan menyebutkan subak sebagai sistem irigasi–plus. Plus yang dimaksudkan disini adalah dalam melakukan peran/kegiatan upacara tersebut.

Sementara itu, menurut standard Ditjen Pengairan Dep. PU, subak adalah juga sebagai lembaga yang sepadan dengan sistem irigasi. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa jaringan irigasi subak sesungguhnya telah merupakan sistem irigasi menurut standar Perencanaan Irigasi (KP-01/1986) yang ditetapkan Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Pengairan. Menurut  Norken, dkk. (2007), bahwa fungsi pokok bangunan pengairan dapat disebandingkan dengan jenis bangunan subak, yang distandarkan dalam KP-01/1986, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan nomenklatur jaringan irigasi sesuai standard Departemen PU dan subak.

No Nomenklatur Bangunan
(KP-01/1986) Ditjen Pengairan  - PU
Nomenklatur Bangunan Subak
1 Bangunan utama (headworks) di mana air diambil dari sumbernya, berupa bendung atau free intake Empelan (empangan) atau buka (inlet) dengan pembatas banjir yang disebut langki atau tanjerig
2 Jaringan pembawa, berupa saluran pembawa yang mengalirkan air irigasi ke petak-petak tersier  Telabah (saluran terbuka), dengan bangunan pelengkap abangan (talang), telebus (siphon), petaku (terjunan), pekiyuh (pelimpah samping), dan lain-lain
3 Petak-petak tersier dengan sistem pembagian air dan sistem pembuangan kolektif Tembuku aya (bangunan bagi utama), tembuku pemaron (bangunan pembagi), tembuku daanan (bangunan sadap), tembuku pengalapan (pembawa air di petak sawah). Bangunan tembuku selain sebagai pembagi juga berfungsi pengukur air dalam sistem tektek
4 Sistem pembuangan yang ada di luar daerah irigasi untuk membuang kelebihan air ke sungai atau saluran alam Kekalen dan pangkung (saluran alam)’ pengutangan (saluran pembuangan)

Dengan melihat Tabel 1, subak memenuhi keempat unsur fungsional pokok seperti tertuang dalam standar irigasi yang ditetapkan pemerintah. Walaupun demikian sistem irigasi subak belum dapat dikatagorikan kedalam irigasi teknis, mengingat kesederhanaan konstruksinya. Pada umumnya konstruksi yang tersedia masih dalam keadaan darurat, yang belum memperhatikan persyaratan kelayakan teknis dan non teknis bangunan. Namun demikian, sistem irigasi subak telah terbukti efektif mendistribusikan air  irigasi secara adil bagi anggotanya (petani).

Selanjutnya patut disebutkan bahwa fungsi untuk melakukan kegiatan upacara dalam subak, pada dasarnya hal itu adalah sebuah kegiatan budaya. Fungsi ini justru dianggap penting, karena merupakan kegiatan  perekat persatuan  dan kesatuan dalam subak. Disamping itu, mereka direkatkan pula oleh adanya kepentingan  pada air secara bersama-sama. Dengan demikian, persatuan yang terjadi pada subak, tidak saja disebabkan karena faktor fisikal, namun juga karena faktor spritual. Pada masa depan, permasalahan air yang akan semakin kompleks, tidak akan dapat dipecahkan karena pendekatan fisik, namun harus dibantu pemecahannya dengan pendekatan budaya  atau spiritual (Windia, 2006).

Seperti disinggung diatas bahwa masalah yang dialami subak akan semakin komplek terkait dengan kemunculan UU no.7 Tahun 2004. Dalam UU itu, muncul pasal 7 yang memuat tentang Hak Guna Usaha Air (disamping pasal tentang Hak Guna Air, yang diperuntukkan bagi petani) yang memungkinkan adanya hak investor untuk mengelola dan mengusahakan air. Disamping itu, ada Pasal 13 yang memuat tentang eksistensi Dewan Sumberdaya Air. Selanjutnya dalam PP  No. 20 Tahun 2006 ada pula Pasal 9 yang memuat tentang Komisi Irigasi.

Masalahnya adalah, apa upaya yang harus dilakukan agar subak di Bali dapat diberdayakan. Dengan demikian, subak dapat berperan  secara positif dalam lembaga Dewan Sumberdaya Air dan Komisi Irigasi. Kalau hal ini mampu diupayakan, maka subak akan  mampu berperan melakukan dialog yang saling menguntungkan, apabila ada pihak swasta yang berniat melakukan investasi dalam pengelolaan air, sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2004.

Terkait dengan bahasan diatas, Pusposutardjo dan Wardhana (1997) secara teoritik menyebutkan bahwa salah satu kelemahan sistem irigasi yang berlandasakan sosio-kultural (seperti halnya subak) adalah ketidak mampuannya untuk melawan intervensi yang datang dari eksternal. Dilain pihak, disebutkan pula kekuatan  dari sistem irigasi yang berwatak sosio-kultural yakni : (i) kemampuannya untuk mengabsorbsi perkembangan teknologi yang berkembang disekitarnya; (ii) kemampuannya untuk berdaptasi dengan dinamika budaya sekitarnya; (iii) kemampuannya untuk bersifat good governance; dan (iv) kemampuannya dalam menata organisasinya yang bersfat fleksibel, yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategisnya.

Apabila kekuatan yang dimiliki subak (seperti yang diuraikan di atas) dapat diberdayakan, maka subak diharapkan mampu menghadapi berbagai kebijakan yang mungkin dapat merugikannya. Dengan demikian keberadaan subak di Bali akan dapat berlanjut.