Rickdy Vanduwin Sitanggang, Sosok Inspiratif Penggagas Women’s March Bali 2019
Prevalensi kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia, khususnya Bali yang didukung pula oleh lemahnya kebijakan publik yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan menjadi fokus utama Rickdy Vanduwin Sitanggang untuk menginisiasi gerakan Women’s March Bali 2019 (28/04/2019). Women’s March Bali 2019 merupakan sebuah gerakan sosial yang menyuarakan hak-hak perempuan serta kelompok minoritas gender dan seksual yang tahun ini bertajuk #BeraniBersuara #GerakBersama. Gerakan sosial ini dilaksanakan di area Lapangan Bajrasandi, Renon yang diawali dengan kegiatan long march serta orasi dan pembacaan puisi dengan membawa serta menyuarakan lima tuntutan krusial yang sejak lama kurang mendapat perhatian serta respon positif dari pemerintah.
Women’s March Bali merupakan acara tahunan yang dilaksanakan serta berada di bawah naungan Resource Center on Gender, Sexuality and Human Rights Studies Udayana (GSHR Udayana) yang didirikan oleh Rickdy Vanduwin Sitanggang, seorang mahasiswa program studi S1 Agroekoteknologi Universitas Udayana. GSHR Udayana menjadi wadah dalam merespon segala aspirasi serta urgensi-urgensi yang terkait dengan gender, seksualitas dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara struktural disuarakan melalui gerakan Women’s March Bali. Rickdy menyatakan jika gerakan ini menjadi media bagi perempuan serta kelompok minoritas gender dan seksual untuk menyampaikan segala keresahan serta pengalaman yang telah mereka alami.
Rickdy merepresentasikan dirinya dalam gerakan ini dengan memanfaatkan privilege yang ia miliki sebagai seorang laki-laki dengan ikut berjuang bersama dalam mendukung kesetaraan gender. “Sebagai seorang laki-laki, kita bertanggung jawab untuk menjadi pendengar dan pendukung yang menyediakan wadah untuk mereka bersuara atas diskriminasi yang mereka alami untuk bersama membangun dunia yang setara dan aman”, paparnya. Ia juga menambahkan jika saat ini kita hidup dalam negara yang masih mempertahankan kebijakan yang memuat nilai-nilai patriarkis serta berimbas pada pembatasan akses perempuan dan ‘menguntungkan’ laki-laki.
Berawal dari menjadi penulis staf di salah satu majalah eletronik Amerika Serikat, Affinity Magazine yang mengangkat isu-isu terkait gender, seksualitas dan Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi daya tarik tersendiri baginya untuk mendalami isu-isu tersebut. Diakui oleh Rickdy, ia mencoba untuk konsisten dan berupaya bergerak dalam dunia aktivisme dengan berperan aktif melalui organisasi yang didirikannya. “Meskipun latar belakang edukasi saya tidak sejalan dengan kegiatan yang saya jalani, saya percaya bahwa tiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjadikan masyarakat sosial yang lebih baik. Dapat saya katakan bahwa hal ini merupakan salah satu tujuan dalam hidup saya”, tandasnya. (nlt)